Beberapa waktu lalu dibeberapa wilayah DKI muncul spanduk larangan mensholatkan jenazah orang yang terang-terangan mendukung pembela penista. Sekalipun spanduk larangan tersebut kemudian banyak yang diturunkan, sebenarnya apakah larangan tersebut benar sesuai syariat Islam?
Secara umum hukum menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu kifayah. Hukum fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum muslimin telah melakukannya, maka gugur hukum dari lainnya. Melaksanakan shalat jenazah menurut Rasulullah memiliki keutamaan, sebagaimana dicatat dalam HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab: “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” Sekalipun menshalati jenazah memiliki hukum fardhu kifayah, namun tidak semua orang muslim dapat disholatkan. Semua bergantung kepada perbuatan mereka semasa hidup. Menurut Rasulullah terdapat 2 orang yang tidak masuk dalam hukum tersebut. Mereka adalah orang muslim yang berhutang dan orang munafik yaitu berpurapura muslim, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Orang munafik ini biasanya suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya, atau bermuka dua.
Larangan Mensholatkan Orang Yang Berhutang
Larangan mensholatkan orang yang berhutang dicatat dalam HR Thabarani. Anas bin Malik ra berkata:“Setiapada jenazah yang mau disholatkan, Nabi saw selalu bertanya: “hal ‘alaa shahibikum daynun, apakah Sahabat kalian ini tersangkut hutang-piutang.” Sahabat lain berkata: “huwa ‘alayya, hutangnya aku yang bayar.” Jika tidak, Nabi bersabda: “shalluw ‘alaa shahibikum”, shalati sahabat kalian itu,” (HR Thabarani, al-Ausath, hadits hasan). Menurut hadis tersebut, nabi tidak bersedia menshalatkan orang yang berhutang, namun meminta para sahabat yang mengenali orang yang berhutang tersebut, untuk menshalatinya. Larangan Mensholatkan Orang Munafik Larangan mensholatkan orang munafik dicatat dalam Alquran. “Dan janganlah sekali-kali kamu menshalatkan jenazah salah seorang diantara mereka (orang-orang munafiq) selama-lamanya, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas quburnya. Sesungguhnya mereka itu telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasiq”, (QS. At-Taubah : 84). Menurut Fatwa Penyusun Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Juz 21:41):
“Nabi tidak lagi menyolati jenazah munafik setelah turunnya surah tersebut, dan tidak mendoakannya di kuburan”
Munafik Dan Pengertiannya
Dari dua larangan tersebut, larangan mensholatkan orang munafik memiliki hukum yang sangat kuat. Selain larangan tersebut bersumber pada Alquran sebagai hukum tertinggi umat Islam, Nabi juga dicatat telah melaksanakan hukum tersebut. Adapun pengertian munafik menurut Nabi, memiliki 3 tanda. “Tanda munafik itu tiga, jika bicara bohong, jika berjanji tidak menepati, dan jika diberi kepercayaan khianat”, (HR. BukhariMuslim).
Tiga tanda tersebut pantaskah kemudian disematkan untuk orang yang terang-terangan membela ‘penista agama’? Istilah penista agama adalah istilah untuk tindakan yang menghina ayat-ayat Allah. Secara hukum, semua bentuk penghinaan kepada Allah, rasul-Nya, dan kitab-Nya termasuk kekufuran. Ketika seseorang muslim secara terang-terangan membela orang yang dinilai melakukan kekufuran, tentu hukumnya terlarang. Hal ini karena ia termasuk mendukung kekufuran. Dengan mendukung kekufuran sementara itu jika ia seorang muslim, maka tindakan tersebut seperti bermuka dua. Tindakan tersebut terlarang dan dapat dikategorikan sebagai munafik. Ia seakan berjanji melaksanakan Islam secara kaffah, namun ternyata kemudian mengingkarinya.
Pilihan Hukum
Dalam menghadapi spanduk larangan mensholatkan jenazah orang yang terang-terangan mendukung pembela penista, ulama Indonesia dicatat terbelah. Ada yang setuju, ada menolak, serta ada yang meminta untuk proporsional. Kesemuanya dengan alasan masing-masing. Alasan bagi yang setuju adalah sebagai bentuk sangsi sosial bagi orang yang melakukan tindakan asosial kepada umat. Tanpa sangsi sosial, seseorang dapat mengganggu kemapanan sosial yang sudah terjalin. Alasan bagi yang menolak adalah sebagai bentuk menjaga ukhuwah keislaman, ukhuwah kebangsaan, dan ukhuwah kemanusiaan.
Alasan bagi yang meminta bertindak proporsional adalah untuk mengedepankan perbuatan yang menjauhi dari segala hal yang melampaui batas. Pilihan tersebut kini menjadi alternatif hukum, bagi umat Islam. Mengingat umat Islam merupakan pendiri negara Indonesia yang juga menerima umat lain, maka untuk melakukan tindakan semacam terhadap orang yang dulunya pernah anti sosial, perlu dilakukan secara proporsional.
Tindakan ini juga untuk menjaga ukhuwah kebangsaan, dan ukhuwah kemanusiaan. Tidak perlu dengan spanduk, cukup meminta keluarga korban mensholatkan mereka yang meninggal atau lainnya. Sebab sangsi sosial memiliki efek yang lebih efektif dari sangsi hukum.*