IBADAH.ID, Makassar – Salah satu tantangan utama layanan ekonomi digital seperti financial technology (fintech) dalam menekuni industri keuangan syariah adalah persoalan kredit bermasalah (Non Performing Finance/NPF) yang tinggi.
Hal ini diungkapkan oleh pengamat ekonomi syariah Adiwarman Karim kepada wartawan di sela-sela Konferensi Keuangan Syariah ke-3 di Makassar, Rabu (04/07/2018).
“Ini karena peraturannya sedikit, inovasinya juga belum ada standarnya, makanya kredit bermasalahnya juga tinggi,” kata Adiwarman.
Menurut Adiwarman, untuk menekan risiko dan mengurangi kekhawatiran konsumen yang ingin memanfaatkan instrumen pembiayaan syariah, para pelaku fintech berbasis syariah harus mampu berkerjasama dengan industri perbankan syariah.
“Kita mendorong fintech untuk bekerja sama dengan perbankan syariah yang mempunyai standar keuangan syariah, agar NPF dapat lebih terkontrol,” ujar dia.
Ia menambahkan jika pelaku fintech, yang sebagian besar merupakan pelaku industri keuangan nonbank ini, bisa bekerjasama dengan perbankan syariah mereka bisa memperolah standar penanganan yang jelas terhadap berbagai keluhan dari nasabah.
“Kerja sama ini juga agar ada standar layanan kalau ada yang komplain,” terang dia.
Di tempat terpisah, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sarjito mengungkapkan alasan tingginya NPF bagi fintech berbasis syariah ini dikarenakan bunga yang dikenakan kepada nasabah yang cukup tinggi.
Sarjito mengharapkan para pelaku industri ini bisa memotong biaya perantara yang masih tinggi untuk menekan tingkat bunga agar konsumen tidak ragu untuk memperoleh pembiayaan yang mudah.
“Kenyataannya ‘peer-to-peer’ masih tinggi, harapannya kedepannya makin baik, sehingga bisa menjadi wahana yang bagus bagi peminjam agar tidak terkena rentenir,” ujarnya.
Saat ini, dari 49 Fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, baru satu Fintech yang tercatat berbasis syariah yaitu PT Ammana Fintek Syariah.