IBADAH.ID, MAKKAH – Ibadah haji adalah ibadah fisik.Karenanya membutuhkan stamina tubuh yang sehat dan prima.Untuk bisa menjalankan ibadah tersebut, jamaah dianjurkan untuk istirahat sejenak, untuk memulihkan kembali kesehatan fisik dan mental agar tetap terjaga.
Salah satunya adalah Mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina sebagai rangkaian ibadah sebelum melanjutkan ritual ibadah berikutnya.
Memang, kegiatan mabit atau bermalam di Mina dan Muzdalifah bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah haji untuk beristirahat.Sebab, rangkaian kegiatan ibadah haji keesokan harinya sangat berat, yaitu melempar jumrah Aqabah di Mina.
Dalam buku Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah, karya Gus Arifin, disebutkan bahwa Mabit berasal dari kata baata seperti dalam kalimat fii makaani baata, yang artinya bermalam. Sedangkan kata al-mabit berarti tempat menetap atau menginap di malam hari, bermalam.
Jadi Mabit adalah berhenti sejenak atau bermalam beberapa hari, untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam pelaksanaan melontar Jumrah yang merupakan salah satu wajib ibadah haji mabit dilakukan dua tahap di dua tempat, yaitu di Muzdalifah dan di Mina.
Biasanya, setelah matahari tenggelam (ketika masuk Magrib) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) jamaah haji meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Di tempat ini jamaah haji mabit (berhenti, istirahat, sholat Magrib dan Isya secara jamak takhir), sampai melewati tengah malam 10 Dzulhijjah.Bagi yang datang di Muzdalifah sebelum tengah malam, maka harus menunggu sampai tengah malam.
Mabit bisa dilakukan dengan cara berhenti sejenak dalam kendaraan atau turun dari kendaraan. Di saat tersebut jamaah bisa memanfaatkannya untuk mencari kerikil di sekitar tempat kendaraan untuk melempar jumrah di Mina.Setelah tengah malam menjelang fajar maka jamaah bergerak menuju Mina untuk mabit, hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah.
Mabit di Muzdalifah
Mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah selepas wukuf di Arafah. Di bagian sebelah barat dari Muzdalifah ini terletak Masy’aril Haram, yaitu Jabal Quzzah.Sebagian Mufassir mengatakan, Masy’aril Haram adalah Muzdalifah seluruhnya.
Di tempat ini jamaah melakukan mabit atau wukuf, minimal telah melewati tengah malam. Memang,yang lebih utama mabit dilakukan sampai selesai shalat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melakukan Jumrah Aqobah.
Para imam madzhab sependapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib, kecuali bagi seseorang yang mendapat udzur, misalnya: bertugas melayani jamaah, sakit, merawat orang sakit, menjaga harta, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 198, yang artinya: “Setelah kamu meninggalkan Arafah maka berdzikirlah mengingat Allah di Masy’aril Haram.”
Pun berdasarkan keterangan hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) riwayat Jabir, sebagai berikut, “…Rasulullah mendatangi Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya dengan adzan sekali dan dua kali iqomat, dan tidak shalat (sunat) di antara keduanya. Kemudian berbaring (tidur) sampai terbit fajar: Lalu shalat Subuh setelah jelas waktu Subuh dengan sekali adzan dan sekali iqomat. Kemudian mengendarai Qaswaa sehingga sampai di Masy’aril Haram lalu menghadap kiblat, berdo’a, bertakbir, bertahlil dan membaca kalimat tauhid lalu terus bewukuf sampai terang benar. Lalu berangkat sebelum terbit matahari……”
Menurut madzhab Syafi’i, jamaah harus berada di Muzdalifah walaupun sebentar dengan syarat harus berada di Muzdalifah, sekurang-kurangnya melewati pertengahan malam setelah wuquf di Arafah dan tidak perlu berdiam (al-muktsu), baik ia (jamaah haji) tahu sedang berada di Muzdalifah atau tidak.
Pun pendapat madzhab Hanafi, berada di Muzdalifah merupakan wajib haji, dan cukup sesaat sebelum fajar. Apabila tidak berada di Muzdalifah sebelum terbit fajar, jamaah haji harus membayar dam, kecuali ada alasan syar’i, seperti sakit, maka tidak apa-apa.
Begitu pula menurut madzhab Hambali, berada di Muzdalifah adalah wajib haji dan dapat dilakukan kapan saja, sejenak dari pertengahan kedua malam Nahar, bukan karena dia petugas pengairan atau penggembala.Dan menurut madzhab Maliki, termasuk wajib haji adalah turun di Muzdalifah sekedarnya dalam perjalanan setelah wuquf di Arafah pada malam hari, pada saat menuju Mina.
Mabit di Mina
Sebagaimana keterangan dalam buku Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah, karya Gus Arifin, Mabit di Mina dilakukan pada malam Arafah (hari Tarwiyah malam/tanggal 8 Dzulhijjah) disepakati hukumnya sunnah, tidak wajib. Ulama empat madzhab berbeda pendapat mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).
Menurut madzhab Hanafi, mabit merupakan sunnah haji karena mabit di Mina bertujuan untuk memudahkan para jamaah haji dalam melontar jumrah yang waktunya bersamaan dengan mabit, yakni hari-hari tasyriq. Dan tidak ada dam (denda) bagi yang meninggalkannya, tetapi mereka dianggap musi’ (berbuat tidak baik melanggar aturan).
Menurut madzab Maliki, Mabit di Mina merupakan wajib haji disamping singgah di Muzdalifah, melontar jumrah, tahallul dan membayar fidyah. Pun menurut madzhab Syafii, qaul masyhur mengatakan wajib mabit di Mina, begitu juga dengan pendapat madzhab Hanbali.
Disyaratkan hendaknya sebagian besar dari malam yang dijalani, pada malam hari-hari tasyrik bagi mereka yang tidak terburu-buru. Adapun bagi yang terburu-buru dan menginginkan keluar dari Mina menuju Mekah pada hari kedua Tasyriq, maka kewajiban pada hari berikutnya melontar jumrah pada hari itu gugur.
Namun bagi mereka yang mempunyai udzur seperti siqayah (penyedia minuman untuk jamaah haji) riaul ibil (penggembala unta) dan orang yang menghawatirkan dirinya dan hartanya terancam disebabkan mabit di Mina, diberikan rukhsoh (keringanan) untuk tidak mabit dan tidak tinggal di Mina, namun tetap harus melontar jumrah.
Menurut pendapat madzab Hanbali, bagi jamaah haji yang sengaja meninggalkan mabit tanpa udzur tersebut dikenai dam. Jenis dam bisa berupa makanan (ukuran satu mud) atau uang (dirham). Sebagian ulama madzab Hanbali pendapat, dikenai 1/3 dam tiap pelanggaran satu hari. Jika mabit tiga hari berarti dendanya satu dam (1/3 x 3 hari).
Adapun waktu mabit di Mina dilakukan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.Tempat mabit bagi jamaah haji Indonesia adalah di Haratul Lisan yang berada di wilayah Mina, berdasarkan ketetapan Pemerintah Arab Saudi pada tahun 1984.
Sedangkan wilayah Mina terletak di antara Muzdalifah dan Mekah.Ketetapan batas wilayah Mina tidak ada dalil qath’i (pasti), baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Selain jamaah haji asal Indonesia, Haratul Lisan juga ditetapkan sebagai tempat mabit bagi jamaah haji asal Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Turki, dan Eropa.
Usai mabit di Mina, rangkaian berikutnya adalah Nafar Awal dan Nafar Tsani. Menurut bahasa, nafar berarti rombongan. Sedangkan menurut istilah, nafar adalah keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada hari Tasyrik.
Nafar dibagi menjadi dua bagian yakni Nafar Awalmerupakan keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina lebih awal yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah untuk tanggal tersebut.Berikutnya, Nafar Tsani (Nafar Akhir) yaitu keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan bagian penting dari rangkain ibadah haji. Dengan memahami persoalan mabit di kedua tempat itu dan mengamalkan ajaran, aturan, dan tata cara mabit yang benar sesuai ajaran Rasulullah, insya Allah jamaah haji akan mendapatkan kemabruran dalam hajinya.
Tidak menemukan jawaban