MADANINEWS.ID, JAKARTA — Ada banyak nama untuk bulan Ramadhan. Selain yang telah banyak disebutkan, Nabi Muhammad Saw. juga menyebutnya sebagai Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr al-Muwasat). Pada bulan ini, orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan dengan orang miskin. Ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.
“Puasa itu hanya untuk Aku,” kata Tuhan. Puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada Bulan Berbagi, bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual; tetapi ibadah sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.
Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt, penyair Inggris, dalam kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem:
Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah)
Satu malam terbangun dari mimpinya yang indah,
Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan,
gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merkah
Seorang malaikat menulis pada kitab emas.
Ketentraman jiwa membuat Ben Adhem berani berkata
kepada sang sosok di kamarnya:
“Apa yang sedang kamu tulis?”
Bayangan terang itu mengangkat kepalanya
dan, dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata,
“Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.”
“Adakah namaku di situ?” kata Abou.
“Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat.
Abou berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria,
“Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.”
Malaikat menulis dan menghilang.
Pada malam berikutnya
ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan
dan memperlihatkan nama-nama
yang diberkati cinta Tuhan..
Aduhai! Nama Ben Adhem di atas semua nama.
Menolong Mereka Berarti Menolong Aku. Abou Ben Adhem (alias Ibrahim bin Adham), mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afghanistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan. Bagi kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:
Marilah kita jatuh cinta lagi
Dan sebarkan debu emas ke seluruh penjuru bumi
Marilah kita menjadi musim semi baru
Dan merasakan tiupan lembut wewangian surgawi
Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan
Dan seperti getah pohon yang muda
Biarkan berkat dari dalam mengaliri kita
Marilah kita ukir permata dari hati kita yang membatu
Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan cinta
Lirikan cinta sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya
Baik Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia.
Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikhnya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan ruhaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti jalan tasawuf bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadah kepada Tuhan dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadah kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, tasawuf dianggap mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristiani. Tor Andrae, pernah menjadi bishop Lutheran dari Linköping, mengungkapkan bagaimana Yesus sering dijadikan rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus bukan saja kesederhanaan hidup yang dijalankannya, melainkan juga perhatiannya untuk menolong orang lain.
Tetapi kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga belajar jalan cinta dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini:
Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa. “Wahai Musa. kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami. Dengan marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?” Tetapi ketika Musa menaiki Bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka Aku akan datang pada pesta mereka, Jumat petang.”
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh.. “Saya lapar sekali,” katanya kepada Musa. “Berilah aku makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul ‘Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan.” Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang dianggapaya telah memper dayakan mereka.
Musa menaiki Bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan.” Tuhan menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan.”
“Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan. Tapi ia hanyalah manusia biasa.”
“Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia. kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti ber khidmat kepada-Ku.
Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku.” JR
***
Penulis: KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)