MADANINEWS.ID – Tidur merupakan aktivitas keseharian yang biasa kita lakukan. Walaupun sejatinya tidur hanya memejamkan mata dan sedikit gerakan tubuh involunter. Sejatinya tidur merupakan aktivitas penting dalam ketidak sadaran yang patut disyukuri karena Tidur adalah tanda kebesaran sekaligus nikmat yang Allah SWT karuniakan pada manusia. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. (QS ar-Ruum : 23)
Meski tidur merupakan karunia Allah, tentu aktivitas tidur harus sesuai dengan tempat dan waktu sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Namun bagaimanakan jika tertidur saat duduk untuk menunggu waktu salat atau bahkan tertidur sejenak ketika salat?
Dasar Hukum
Berdasarkan keterangan dari Imam Empat Madzhab, Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannnya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri. Inilah pendapat para ulama madzhab empat.
Pertama, Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini meruapakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran. Kedua, Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sementara Daud Ad-Dzahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.
Ketiga, Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah. Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Ad-Dzahiri kembali pada bentuk tidur. Keempat, Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn taimiyah dan Ibn Utsaimin.
Pendapat tersebut merupakan hasil kompromi para Imam Madzhab terhadap keterangan hadis dari Anas bin Malik, dimana para sahabat sedang menunggu waktu salat hingga kepala mereka terkantuk-kantuk. Saat terbangun, mereka tidak mengulang wudhu dan langsung salat begitu saja. “Sesungguhnya para shahabat radhiallahu anhu menunggu pelaksanaan shalat Isya pada masa Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam sampai kepalanya terkantuk-kantuk, kemudian mereka shalat tanpa berwudu.” (HR Muslim)
Kriteria Tidur yang Tidak Membatalkan
Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Menurut keterangan dalam kitab Safinatun Naja karya Salim Ibn Sumair Al Hadrami, tidur adalah salah satu penyebab batalnya wudhu. Namun yang dimaksud tidur di atas adalah tidur yang lama dan menyeluruh.
Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan bahwa, yang membatalkan wudhu adalah tidur yang tidak dalam keadaaan mutamakkin (berubah posisi). Misalnnya seseorang duduk di atas sajadah dan tertidur, kemudian ketika terbangun posisi duduknya sudah berubah, maka wudhu orang tersebut batal. Jika terbangun dan posisi duduknya tidak berubah, maka tidak batal wudhu orang tersebut.
Dengan berbagai keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tertidur saat duduk atau tidur yang sedikit dan tidak menyeluruh saat posisi duduk adalah tidak membatalkan wudhu. Jadi tidak usah khawatir ketika teridur saat berdzikir atau membaca Alquran yang terbangun saat iqamah dikumandangkan. Sebab bisa langsung untuk menunaikan salat, tanpa berwudhu kembali. Wallahu’alam