MADANINEWS.ID, BRUNEI DARUSSALAM — Pertemuan pejabat setingkat eselon I yang menangani urusan agama (Senior Officers MABIMS atau SOM) di Brunei Darussalam diawali dengan seminar membahas Islam Liberal: Isu, Tantangan, dan Usaha Membendungnya.
Hadir sebagai pembicara, Dr. Dayang Noryati binti Haji Ibrahim (Brunei), Prof. Abd Rahman Mas’ud, Ph.D (Indonesia), Prof. Dr. Azizan binti Baharuddin (Malaysia), dan Ust Mahmoud Mathlub (Singapura).
Seminar diarahkan sebagai ajang berbagi pengalaman dalam penanganan Islam Liberal. Mendapat giliran pertama, Abd Rahman menjelaskan bahwa Islam Liberal di Indonesia muncul dsn menguat pada akhir tahun 90 an. Rahman mengidentifikasi golongan ini sebagai kelompok yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20.
“Kelompok ini senantiasa mengusung semangat ijtihad, rasionalisme; menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, serta menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan,” ujarnya di Brunei, Selasa (13/11).
Kelompok ini, lanjut Rahman memandang bahwa keinginan mendirikan “Negara Islam” adalah pengalihan perhatian yang merugikan. Mereka juga menerima dan mendukung pluralisme masyarakat, serta memegangi prinsip-prinsip humanitarianisme, bahkan memandangnya sebagai essensi dan jantung Islam.
“Mereka juga memperjuangkan kesetaraan gender,” tuturnya.
Rahman menilai Islam Liberal sempat menjadi problem dan diskursus pada dua dekade lalu. Namun, kondisi saat ini sudah lebih baik. Gerakan ini juga berkontribusi pada munculnya gerakan melakukan kontekstualisasi dan fungsionalisasi nilai ajaran Islam sesuai kebutuhan dan tantangan zaman.
Namun, gerakan ini juga melontarkan pemikiran yang acap kali berlebihan dan berseberangan dengan mainstream pemahaman ulama. Sehingga, menimbulkan munculnya gerakan over reaktif yang mengarah pada ektrimisme.
Rahman mengaku Kementerian Agama bekerjasama dengan ormas Islam, baik MUI, NU, Muhammadiyah, dan lainnya dalam merespon munculnya Islam Liberal. “Kami mendiseminasikan dan mempromosikan Islam Wasathiyah ke dalam dan luar negeri; sebagai penjabaran Islam rahmatan lil alamin,” terangnya.
Upaya lainnya adalah mendorong pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang otentik nusantara dalam mengawal Islam wasathiyah.
Melalui perguruan tinggi, Kemenag juga membuat pusat kajian moderasi kajian agama Islam untuk merespon isu liberalisasi dan radikalisasi.
“Upaya lainnya, melalui pendidikan sekolah, Kemenag telah mendiklat 10 ribu guru dan pengawas agar bisa memberikan pemahaman Islam yang moderat. Juga melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kemenag mengajak umat seluruh agama untuk terus mengembangkan paham keagamaan yang moderat,” jelasnya.
Senada dengan Rahman, Ust Mahmoud Mathlub dari Singapura juga menggarisbawahi pentingnya penguatan pemahaman Islam Wasathiyah dalam merespon liberalisme. “Kami mengambil pendekatan la ifrath (ektrem kiri) wa la tafrith (ekstrem kanan), tapi lebih ke Islam Wasathiyah,” jelasnya.
Adapun pendekatan yang dilakukan Singapura, lanjut Mahmoud adalah membangun pemahaman Wasathiyah melalui SMI (Singapura Muslim Identity) atau identitas muslim Singapura di tengah masyarakat global.
Menurutnya, ada lima langkah yang diambil, yaitu bagaimana muslim Singpura mempunyai daya tahan keagamaan (religiously resulient), tidak menyisihkan diri (inclusive), memberikan sumbangan tanpa membedakan agama dan vangsa (contributive), mampu menyesuaikan diri sesuai konteks zaman (adaptive), serta yakin dengan pegangan agama dan berani merajut bidang baru dan mengembangkan tradisi (progresif).
“Kami ingin membentuk masyarakat Islam yang cemerlang, memberi inspirasi. dan membawa rahmah kepada semua. Prinsipnya wasathiyah. Ini menjadi benteng,” jelasnya.
“Jalur yang kami tempuh adalah melalui pendidikan,” tandasnya.
Prof. Dr. Azizan binti Baharuddin dari Malaysia lebih memotret liberalisasi sebagai fenomena yang menghangat. Sejumlah kasus dipaparkan, antara lain soal LGBT hingg jual beli benih (ovum) yang dilakukan sejumlah mahasiswi.
Dia juga menyoroti sejumlag siswa menengah yang meski cenderung religius, namun pemahaman Islamnya lemah. Untuk itu, perlu memperkaya ilmu-ilmu agama dalam pembelajaran sains di sekolah.
Azizan menilai liberalisme sebagai ancaman besar. Karenanya, dia berharap MABIMS bisa merumuskan sikap tertentu terkait ini.
Berbeda dengan Indonesia, Singapura, dan Malaysia, Dr. Dayang Noryati binti Haji Ibrahim dari Brunei menyampaikan fakta bahwa Islam liberal belum berkembang di negaranya. Menurutnua, sampai saat ini belum tampak adanya pihak-pihak yang menyuarakan liberalisme.
Hal itu, kata Noryati tidak terlepas dari kebijakan Sultan yang pernah menegaskan bahwa pemahaman yang seperti itu tidak dibenarkan di Brunei.
“Brunei adalah bumi Islam tulen. Insya Allah pegangan ini akan terus turun temurun hingga akhir zaman,” terangnya.
Meski demikian, Noryati mengakui bahwa Brunei juga tetap dihadapkan pada tantangan perkembangan aliran. Untuk itu, Brunei mengambil upaya preventif penguatan regulasi.
“Islam tidak hanya menjadi agama resmi negara. Islam juga dijadikan sebagai bagian undang-undang negara,” tandasnya.
SOM MABIMS akan berlangsung hingga 15 November mendatang. Hasil pembahasan SOM akan dibawa pada forum MABIMS. Menag Lukman Hakim Saifuddin dijadwalkan hadir pada forum tingkat menteri ini.