MADANINEWS.ID, JAKARTA – Haji mabrur menurut bahasa adalah haji yang baik atau yang diterima oleh Allah SWT. Sedangkan menurut istilah syar’i, haji mabrur ialah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan wajib, serta menghindari hal-hal yang dilarang (muharramat) dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Perihal mabrur, ada banyak pendapat ulama. Pertama, haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri kemaksiatan, dan kata “al-mabrur” itu diambil dari kata al-birr yang artinya ketaatan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan penuh ketaatan sehingga tidak tercampur dengan dosa. Pendapat ini menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi, dipandang sebagai pendapat yang paling sahih.
قَالَ النَّوَوِيّ مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يَقْتَصِر لِصَاحِبِهَا مِنْ الْجَزَاء عَلَى تَكْفِير بَعْض ذُنُوبه لَا بُدّ أَنْ يَدْخُل الْجَنَّة قَالَ : وَالْأَصَحّ الْأَشْهَر أَنَّ الْحَجّ الْمَبْرُور الَّذِي لَا يُخَالِطهُ إِثْم مَأْخُوذ مِنْ الْبِرّ وَهُوَ الطَّاعَة
“Menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi makna hadits “Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga” adalah bahwa ganjaran bagi orang dengan haji mabrur tidak hanya sebatas penghapusan sebagian dosa. Mabrur itu yang mengharuskan ia masuk surga. Imam Nawawi berkata: ‘Yang paling sahih dan masyhur adalah bahwa haji mabrur yang bersih dari dosa itu diambil dari al-birr (kebaikan) yaitu ketaatan”. (Lihat, Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, Halb-Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, cet ke-2, 1406 H/1986 H, juz, V, h. 112).
وَقِيلَ : هُوَ الْمَقْبُولُ الْمُقَابَلُ بِالْبِرِّ وَهُوَ الثَّوَابُ، وَمِنْ عَلَامَةِ الْقَبُولِ أَنْ يَرْجِعَ خَيْرًا مِمَّا كَانَ وَلَا يُعَاوِد الْمَعَاصِي
“Ada pendapat yang mengatakan: ‘Haji mabrur adalah haji yang diterima yang dibalas dengan kebaikan yaitu pahala. Sedangkan pertanda diterimanya haji seseorang adalah kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi melakukan kemaksiatan.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).
Ketiga, haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya. Keempat, haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi kemaksiatan. Jika kita cermati dengan seksama maka pendapat ketiga dan keempat ini pada dasarnya sudah tercakup dalam pendapat sebelumnya.
وَقِيلَ هُوَ الَّذِي لَا رِيَاءَ فِيهِ وَقِيلَ : هُوَ الَّذِي لَا يَتَعَقَّبهُ مَعْصِيَةٌ وَهُمَا دَاخِلَانِ فِيمَا قَبْلهُمَا
“Ada ulama yang mengatakan haji mabrur adalah haji yang tidak ada unsur riya` di dalamnya. Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah yang tidak diiringi dengan kemaksiatan. Kedua pandangan ini masuk ke dalam kategori pandangan sebelumnya.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).
Antara pendapat satu dan yang lainnya pada dasarnya saling berkait-kelindan dan mendukung satu sama lain. Intinya haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan pelbagai ketentuannya sesempurna mungkin. Demikian sebagaimana disimpulkan al-Qurthubi.
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ : الْأَقْوَالُ الَّتِي ذُكِرَتْ فِي تَفْسِيرِهِ مُتَقَارِبَةٌ وَأَنَّهُ الْحَجُّ الَّذِي وُفَّتْ أَحْكَامُه وَوَقَعَ مَوْقِعًا لِمَا طُلِبَ مِنْ الْمُكَلَّف عَلَى وَجْهِ الْأَكْمَلِ
“Al-Qurthubi berkata: ‘Bahwa pelbagai pendapat tentang penjelasan haji mabrur yang telah dikemukakan itu saling berdekatan. Kesimpulannya haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuanya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya (mukallaf) sebagaimana yang dituntut darinya”. (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).
Predikat mabrur memang hak prerogatif Allah SWT untuk disematkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tetapi seseorang yang dapat meraih haji mabrur pasti memiliki ciri-ciri tersendiri.
Rasulullah SAW juga pernah memberikan kisi-kisi tanda atau ciri-ciri bagi setiap orang yang mendapatkan predikat mabrur hajinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
“Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”
Walaupun hadits ini divonis munkar syibhul maudhu’ oleh Abu Hatim dalam kitab Ilal ibn Hatim, tetapi ada riwayat lain yang marfu’ dan memiliki banyak syawahid. Bahkan divonis Shahihul Isnad oleh Al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, walaupun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Sebagaimana dikutip Imam Badrudin Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya.
سئل النبي ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام وقال صحيح الإسناد ولم يخرجاه
“Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”
Dari dua hadits di atas bahwa sebagian dari tanda mabrurnya haji seseorang ada tiga.
Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam).
Kedua, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam).
Ketiga, memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am)
Dari tiga ciri ini, bisa disimpulkan bahwa predikat mabrur yang diraih oleh seorang yang telah menjalankan ibadah haji sebenarnya tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan orang tersebut, melainkan juga berdampak besar kepada sisi sosial di lingkungan orang yang berangkat haji tersebut.