IBADAH.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) berharap agar masyarakat dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kasus yang terjadi pada Ibu Meiliana yang divonis 18 bulan penjara karena memprotes pengeras suara saat azan di Masjid.
“Bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya, sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat,” kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi di Jakarta, Senin (27/8).
Dirinya mengaku MUI setuju bahwa dalam sebuah masyarakat majemuk diperlukan adanya peraturan yang dapat menjamin terbangunnya kehidupan yang damai, rukun dan harmonis antar elemen masyarakat.
“Untuk hal itu pemerintah harus membuat regulasi yang dapat diterima oleh semua pihak. Regulasi tersebut tidak boleh diskriminatif, dan harus mengatur dan melindungi semua umat beragama,” pungkasnya.
Zainut menambahkan, terkait dengan masalah “adzan”, sementara ini regulasi yang ada hanya mengacu pada Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid.
“Peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan sehingga perlu direvisi karena tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 8 ayat (2) yang menegaskan bahwa : “Peraturan Perundang-undangan (termasuk di dalamnya Peraturan Menteri) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
“Kalau kita menilik Instruksi Dirjen tersebut di atas, tidak ada perintah atau delegasi dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga Instruksi Dirjen tersebut sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” ungkapnya.
Lebih dari itu, Instruksi Dirjen tersebut kata dia juga bersifat diskriminatif karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat.
“Jadi menurut hemat saya, Kementerian Agama harus membuat peraturan perundangan yang lebih konprehensif,” terangnya.
Seperti diketahui Pengadilan negeri Medan, Sumatera Utara pada 21 Agustus lalu resmi memutus vonis 18 bulan penjara untuk Meiliana atas tuduhan penistaan agama, karena memprotes volume suara azan yang berkumandang di sebuah Masjid dekat rumahnya. (Tio/Kontributor).