MADANINEWS.ID, JAKARTA – Dalam kalender Hijriah, penentuan awal bulan memiliki metode yang berbeda dengan kalender Masehi. Dua metode utama yang digunakan adalah hisab dan rukyat.
Kedua istilah ini mengacu pada cara yang berbeda dalam menentukan dimulainya bulan baru dalam kalender Islam. Berikut penjelasan perbedaan hisab dan rukyat dalam Islam, mengutip berbagai sumber.
Pengertian hisab dan rukyat
Rukyat memiliki arti bahasa “melihat”. Dalam penentuan awal bulan Hijriah, rukyat dilakukan dengan mengamati hilal atau bulan baru yang muncul di ufuk. Pengamatan ini bisa dilakukan dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu seperti teleskop.
Hilal adalah bentuk bulan sabit yang sangat tipis dan muncul di langit barat setelah matahari terbenam (ghurub). Bulan ini berada pada ketinggian rendah di atas ufuk dan dapat terlihat.
Metode rukyat bertujuan untuk memastikan penampakan hilal sebagai penanda dimulainya bulan baru, seperti Ramadan. Proses pelaksanaan rukyat hilal biasanya dilakukan melalui sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Namun, metode rukyat memiliki keterbatasan, yakni ketidakpastian cuaca yang bisa menghalangi visual hilal. Bahkan, umat Islam tidak dapat menyusun kalender ke depan.
Hal ini disebabkan awal bulan hanya bisa dipastikan satu hari sebelumnya, tepatnya pada hari ke-29 bulan berjalan. Terkadang, penentuan hari ke-29 itu sendiri sering kali tidak memiliki kepastian.
Sementara itu, hisab memiliki arti bahasa yakni “menghitung”. Metode ini menggunakan perhitungan numerik-matematik astronomi dan ilmu falak untuk menentukan posisi hilal, tanpa perlu melihatnya secara langsung.
Dalam metode hisab ini, memungkinkan untuk dapat memprediksi awal bulan pada tahun-tahun berikutnya, sehingga dapat menyusun kalender jangka panjang.
Meskipun begitu, metode ini juga memiliki kekurangan yakni tidak adanya standar aturan yang sama mengenai ketinggian minimal bulan di atas ufuk agar bisa terlihat hilal dengan mata telanjang.
Pada tahun 2021, kriteria yang disepakati oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), hilal dianggap dapat terlihat jika memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat.
Sementara itu, kriteria di negara lain seperti Mesir, memiliki standar ketinggian hilal yang diterapkan adalah minimal 4 derajat, sedangkan komunitas Muslim di Amerika menetapkan batas yang jauh lebih tinggi, yaitu minimal 15 derajat.
Sehingga, penentuan kriteria ini didasarkan atas kesepakatan dibandingkan pertimbangan astronomis yang mutlak.
Perbedaan utama antara hisab dan rukyat terletak pada cara penentuan awal bulan. Rukyat menekankan pada penglihatan visual terhadap hilal, sementara hisab menggunakan perhitungan matematis dan astronomis.
Penerapan rukyat dan hisab di Indonesia
Di Indonesia, kedua metode ini memiliki peran penting dalam penentuan awal bulan Hijriah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengakui bahwa baik hisab maupun rukyat adalah hasil ijtihad ulama dan tidak ada yang salah dengan keduanya.
Berdasarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan melalui hisab dan rukyat yang diputuskan oleh pemerintah melalui Menteri Agama.
Selain itu, untuk keputusan penetapan hilal pun, Menteri Agama mesti melibatkan pertimbangan pendapat dari MUI, organisasi Islam, serta lembaga terkait lainnya. Setelah keputusan disahkan, seluruh umat Muslim di Indonesia wajib mengikuti ketetapan tersebut.
Perbedaan pendapat dalam penggunaan metode hisab dan rukyat sering kali menimbulkan perbedaan dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Hal ini yang dapat menyebabkan perbedaan dalam pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Selain itu, ada juga gagasan tentang rukyat global, di mana jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa.
Kendati demikian, dengan perbedaan tersebut, kedua metode ini tetap menjadi bagian penting dari tradisi Islam di Indonesia.