MADANINEWS.ID, JAKARTA — Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Hari Jumat adalah penghulunya hari. Hari Jumat lebih agung di sisi Allah, lebih Agung daripada Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Pada hari Jumat, seluruh kebaikan dilipatgandakan pahalanya.
Namun, bagaimana sejarah awal penyebutan Hari Jumat sendiri?
Hari diciptakan Allah SWT untuk mengetahui perjalanan hidup dan perhitungan masa. Allah telah menentukan jumlah hari ada tujuh yang terus berulang-ulang. Setiap kaum menyebut nama-nama hari itu sesuai dengan korelasi masing-masing atau sesuai dengan kejadian-kejadian yang dianggap penting.
Dalam buku “Jum’at: Hari Bertabur Kebajikan” terbitan Al-Mawardi, Ustaz Saifuddin Aman menjelaskan, pada zaman jahiliyah sebelum Islam datang, nama-nama hari itu adalah hari ke-1 disebut “Awal”. Kemudian, pada masa Islam disebut al Ahad (Ahad).
Selanjutnya, hari kedua pada zaman jahiliyah disebut “Ahwan”, kemudian pada masa Islam disebut “Al-Itsnain” (Senin). Hari ketiga disebut Jabar, yang kemudian di masa Islam disebut Al-Tsulatsa’ (Selasa).
Hari keempat pada zaman jahiliyah disebut “Dabar”, yang kemudian di masa Islam disebut “Al-Arbi’a” (Rabu). Sedangkan hari kelima disebut “Mu’nas”, dan kemudian pada masa Islam disebut “Al-Khamis” (Kamis).
Lalu, hari keenam pada zaman jahiliyah disebut “Arubah”, yang kemudian di masa Islam disebut dengan “Al-Jumu’ah” (Jumat). Sementara, hari ketujuh disebut dengan Syayyar, yang kemudian di masa Islam disebut dengan Al-Sabat (Sabtu).
“Kalau kita cermati secara seksama penamaan hari ke-1 sampai hari kelima semuanya sangat sesuai dengan urutan angka atau disandarkan pada urutan bilangan,” kata Ustaz Saifuddin.
Misalnya, hari ke-1 disebut dengan Ahad karena memang Ahad berarti bilangan satu atau pertama dalam bahasa Arab. Hari kedua disebut Itsnain karena memang isnain berarti dua dalam bahasa Arab. Hari ketiga juga disebut Tsulatsa’ karena memang Tsulatsa’ berarti tiga.
Sama halnya dengan hari keempat disebut Arbi’a karena memang Arbi’a berarti empat. Sedangkan hari kelima disebut Khamis karena memang Khamis berarti lima.
Jika disesuaikan dengan bilangan semestinya hari keenam disebut As-Sadas (enam) dan hari ketujuh disebut As-Saba’ (tujuh). Tetapi mengapa hari keenam disebut al-Jum’ah dan hari ketujuh disebut As-Sabat?
“Di sinilah mengapa hari yang keenam menjadi sangat istimewa bagi umat Islam dan hari ketujuh menjadi hari besar bagi umat Yahudi,” jelas Ustaz Saifuddin.
Dia menuturkan, Al-Jum’ah artinya berkumpul. Disebut al-Jum’ah karena memang pada hari itu semua umat Islam yang laki-laki diwajibkan untuk berkumpul di masjid menjalankan sholat Jumat. “Demikianlah hikmah penyebutan nama hari keenam yang dikemukakan oleh para ulama,” katanya.
Menurut riwayat, penyebutan nama Jumat pertama kali diucapkan oleh seorang pembesar keturunan Quraisy bernama Ka’ab bin Luayyi sebelum datang Islam. Abu Hilal Al-Askari menceritakan bahwa Ka’ab bin Luayyi mengumpulkan bangsa Quraisy dan memberikan pesan khusus kepada mereka. Dia berkata,
“Sesungguhnya hari ini adalah hari Jumat…. Dengarkan baik-baik, kalian akan sadar! Belajarlah, kalian akan mengerti! Dalamilah, kalian akan paham! Malam itu gelap dan siang itu terang, bumi itu terhampar, langit itu tegak dan gunung itu pasak. Generasi zaman dulu sama seperti generasi zaman akhir, semuanya akan binasa. Maka sambunglah silaturrahim, peliharalah persaudaraan kalian, kembangkan harta kalian, baguskan amal kalian. Apakah kalian melihat ada orang yang hancur kemudian kembali hidup? Atau ada orang yang mati kemudian bangkit? Ketahuilah, hari akhir ada di depan kalian. Persangkaan adalah perbedaan yang kalian katakan. Hiasilah tanah haram ini dan agungkan dia, peganglah erat-erat dan jangan berpecah belah menjaganya, akan datang untuk tanah haram ini bangunan agung dan akan keluar dari tanah haram ini seorang nabi yang sangat dimuliakan.”
Ka’ab bin Luayyi adalah pembesar Quraisy keturunan Bani Hasyim dan keturunan inilah nabi Muhammad dilahirkan. Ka’ab bin Luayyi jauh-jauh hari, berpuluh-puluh tahun sebelum lahir nabi Muhammad SAW sudah begitu yakin dan percaya akan adanya cahaya kebenaran yang mengubah dunia. Dia sudah membaca akan datangnya seorang nabi dari keturunannya.
“Dan hari Jumat dijadikan sebagai kesempatan untuk memberikan pesan-pesan kepada kaumnya atau dalam istilah sekarang adalah majelis taklim,” jelas Ustaz Saifuddin.
Keistimewaan Berdoa di Hari Jumat
Dilansir dari About Islam, Mufti Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hari Jumat memang waktu yang istimewa untuk berdoa. Karena itu, Jumat juga disebut sebagai sayyidul ayyam atau hari terbaik dalam satu pekan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jum’at, lantas beliau bersabda,
فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta
Tidak ada keterangan hadits Nabi yang secara tegas menjelaskan penentuan waktu ijabah tersebut, bahkan beberapa di antaranya saling berlawanan. Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai penentuan waktunya.
Menurut mayoritas ulama madzhab Syafi’i, waktu ijabah yang paling diharapkan adalah waktu di antara duduknya khatib di atas mimbar sebelum ia berkhutbah dan salamnya Imam jamaah shalat Jumat.
Pendapat tersebut bertendensi kepada hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Abi Dawud sebagai berikut.
عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ لِيْ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ شَأْنِ سَاعَةِ الْإِجَابَةِ؟ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعُتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ
Artinya, “Dari Abi Musa Al-Asy’ari, ia berkata, ‘Abdullah bin Umar berkata kepadaku, ‘Apakah kau pernah mendengar ayahmu bercerita dari Rasulullah Saw tentang waktu ijabah?’ Aku menjawab, ‘iya.’ Aku pernah mendengar ayahku mendengar dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Waktu ijabah adalah waktu di antara duduknya imam sampai selesainya shalat Jumat,’” (HR Muslim dan Abi Dawud).
Mengenai rentang waktu sebagaimana diterangkan hadits tersebut, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan.
وَالْمُرَادُ أَنَّهَا لَا تَخْرُجُ عَنْ هَذَا الْوَقْتِ لَا أَنَّهَا مُسْتَغْرِقَةٌ لَهُ لِأَنَّهَا لَحْظَةٌ لَطِيْفَةٌ
“Yang dimaksud adalah bahwa waktu ijabah tersebut tidak keluar dari rentang waktu ini, bukan keseluruhan rentang waktu tersebut, karena waktu ijabah sangat singkat sekali,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim, Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 345).
Pertanyaannya kemudian, bukankah saat khutbah berlangsung dianjurkan untuk diam dari bicara? Bukankah sibuk berdoa justru bertentangan dengan anjuran mendengarkan khutbah secara seksama?
Syekh Jalaluddin Al-Bulqini sebagaimana dikutip Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjawab sebagai berikut.
وَسُئِلَ الْبُلْقِيْنِيُّ كَيْفَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ فِيْ حَالِ الْخُطْبَةِ وَهُوَ مَأْمُوْرٌ بِالْإِنْصَاتِ؟ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الدُّعَاءِ اّلتَّلَفُّظُ بَلِ اسْتِحْضَارُ ذَلِكَ بِقَلْبِهِ كَافٍ فِيْ ذَلِكَ
“Imam Al-Bulqini ditanya. ‘Bagaimana mungkin jamaah Jumat disunahkan berdoa saat berlangsungnya khutbah sementara ia diperintahkan diam?’ Ia menjawab, ‘Doa tidak disyaratkan untuk diucapkan. Menghadirkan doa di dalam hati saat khutbah berlangsung sudah cukup,’” (Lihat Syekh Mahfuzh Termas, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 344).
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa cara berdoa saat khutbah berlangsung adalah dengan dibaca dalam hati, tidak perlu diucapkan dengan lisan.