MADANINEWS.ID, JAKARTA — Seiring perkembangan jaman dan pesatnya kemajuan teknologi, dewasa ini muncul banyak wahana baru di bidang profesi. Profesi yang kali ini hendak kita sorot adalah profesi makelar tanah. Dunia modern menyebutnya sebagai broker atau bahkan pialang. Kadang, broker ini bersifat freelance, yakni sukarelawan tak terikat oleh waktu. Tapi ada juga, broker ini bersifat tersertifikasi. Untuk broker yang bersifat tersertifikasi ini, ia bernaung di bawah naungan perusahaan tertentu. Contoh termudah misalnya adalah perusahaan iklan.
Jadi, broker / makelar ini muncul seiring terjadinya proses jual beli lewat tangan kedua (second-hand vessel). Makelar berperan menjadi narahubung (peran intermediasi) antara kedua belah pihak yang saling berakad dan berusaha untuk memenuhi keinginan para pihak. Lewat tugasnya sebagai narahubung ini, seorang makelar mendapatkan fee (upah) dari keberhasilan transaksi.
Di dalam al-Mausu’at al-Fiqhiyyah, peran broker dengan ciri-ciri sebagaimana di atas, diistilahkan sebagai samsarah.
السمسرة : هي التوسط بين البائع والمشتري , والسمسار هو : الذي يدخل بين البائع والمشتري متوسطاً لإمضاء البيع , وهو المسمى الدلال , لأنه يدل المشتري على السلع , ويدل البائع على الأثمان
“Makelar adalah narahubung antara penjual dan pembeli. Simsar juga didefinisikan sebagai orang ketiga yang masuk di antara penjual dan pembeli, berperan selaku penghubung, untuk tugas terjadinya proses jual beli. Profesi ini sering dikenal sebagai profesi penunjuk, karena ia berprofesi selaku pihak yang menunjukkan pembeli akan adanya suatu harta dagang atau berlaku sebagai pihak yang menunjukkan penjual atas suatu harga.” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 10, halaman 151).
Secara garis besar, tugas seorang broker dapat dirangkum sebagai berikut:
- Broker merupakan orang atau pihak tertentu yang mengatur transaksi antara pembeli dan penjual, dengan keuntungan mendapatkan komisi dari transaksi tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dijalani.
- Seorang broker bisa bertindak sebagai penjual, artinya broker mendapatkan amanah dari si penjual untuk menjualkan barangnya, dia mencari pembeli yang mau membeli barang si penjual, setelah menemukan pembeli si broker mempertemukan si pejual dengan si pembeli , sehingga terjadi transaksi antara si penjual dan si pembeli dan broker akan mendapatkan komisi dari penjualan tersebut.
- Seorang broker juga bertindak sebagai pembeli, dengan amanah dari si pembeli untuk mencarikan barang kepada si penjual, setelah menemukan barang tersebut broker akan mempertemukan si pembeli dengan si penjual,dan broker pun mendapatkan komisi dari si pembeli.
- Intinya broker adalah orang ketiga antara si pejual dan si pembeli, peran broker hanyalah sebagai fasilitator yang mempertemukan si penjual dengan si pembeli. Di indonesia sendiri dikenal dengan istilah calo, atau di dunia internet marketing juga ada metode penjualan menggunakan tekhnik affiliasi yang cara kerjanya sama seperti broker.
- Dengan demikian, ciri khas dari profesi broker adalah ia bekerja tanpa modal dan bahkan tanpa perlu memiliki aset yang perlu dijual
Yang sering disoal adalah, apa hukum menjadi makelar dalam Islam? apakah upah yang diterima oleh makelar/broker ini hukumnya boleh? Ada beberapa pendapat dari kalangan Ulama.
Imam Malik di dalam Kitab al-Mudawanah, Juz 3, halaman 466, menyatakan bahwa upah yang diterima oleh jasa makelar ini sebagai la ba’tsa bi dzalik (tidak apa-apa). Dengan demikian, menurut beliau, hukumnya adalah mubah.
Imam Bukhari rahimahullah ta’ala, menyatakan dalam kitab shahihnya, sebagai berikut:
وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : لا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ : بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ : إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ ، أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ )
“Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim dan Al-Hasan menyatakan bahwa upahnya samsarah tidak ada bahaya (mubah). Ibnu Abbas juga menyatakan: “Tidak apa-apa seseorang mengatakan kepada orang lain: jualkan baju ini dengan harga sekian! Bila kamu jual lebih dari ini, maka kelebihannya itu adalah milikmu.”Ibnu Sirin juga berkata: “Bila ada seseorang mengatakan kepada orang lain (jualkan barang ini dengan harga sekian. Bila ada laba lain, maka itu adalah milikmu, atau laba itu kita bagi berdua), maka hukumnya tidak apa-apa. Nabiullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Orang islam itu senantiasa menepati janji yang diucapkannya.” (Shahih Bukhari)
Ibnu Qudamah, salah seorang ulama otoritatif dari kalangan Madzhab Hanbali menyatakan:
ويجوز أن يستأجر سمسارا, يشتري له ثيابا, ورخص فيه ابن سيرين, وعطاء, والنخعي ويجوز على مدة معلومة, مثل أن يستأجره عشرة أيام يشتري له فيها; لأن المدة معلومة, والعمل معلوم
“Dan boleh menyewa seorang makelar agar membelikan sebuah baju untuknya. Ibnu Sirin, Atha’ dan Ibrahim al-Nakha’i menganggap hal ini sebagai rukhshah jika waktu sewanya bersifat ma’lum. Suatu misal, menyewa jasa makelar itu hingga 10 hari. Dalam kondisi sepertii hukumnya adalah boleh (dengan rukhshah) karena: 1) masa sewanya bersifat ma’lum, dan 2) amalnya juga bersifat ma’lum.” (Al-Mughny li Ibn Qudamah, Juz 8, halaman 42)
Bagaimana bila masa sewa samsarah itu tidak ditentukan, akan tetapi hanya amalnya saja yang ditentukan?
Ibnu Qudamah lebih lanjut menjelaskan:
فإن عَيَّنَ العملَ دون الزمان, فجعل له من كل ألف درهم شيئاً معلوما, صح أيضا وإن استأجره ليبيع له ثيابا بعينها, صح. وبه قال الشافعي، لأنه عمل مباح, تجوز النيابة فيه, وهو معلوم, فجاز الاستئجار عليه كشراء الثياب
“Jika amalnya saja yang dita’yin (ditentukan), namun tidak dengan masa sewa jasanya, seperti misalnya untuk setiap 1000 dirham ia mendapatkan bagian tertentu yang bersifat ma’lum, maka hukumnya sah juga. Dan semisal, seseorang menyewa jasa makelar untuk menjualkan dagangan pakaian yang dimilikinya, maka akad ini juga sah. Demikianlah pula Imam Syafii berpendapat, karena sesungguhnya dalam pekerjaan yang mubah, ada kebolehan mencari wakil pengganti untuk melakukan transaksi, dan amal sedemikian ini adalah bersifat ma’lum. Untuk itu proses mengangkat seseorang menjadi wakil sedemikian ini hukumnya adalah boleh, seumpama menjualkan baju tersebut.” (Al-Mughny li Ibn Qudamah, Juz 8, halaman 42)
Berdasarkan keterangan di atas ini, maka dapat ditarik kesimpulan hukum mengenai mengangkat makelar menurut Madzhab Hanbali, dengan alasan:
- Makelar itu harus disewa (ijarah) terlebih dulu oleh pihak yang mempunyai barang dengan amal dan masa sewa yang ditentukan. Adanya syarat ketentuan masa dan amal ini, menjadikan upah yang diterima menjadi bersifat maklum dan beban kerjanya juga ma’lum sehingga tidak bertentangan dengan prinsip ijarah (sewa jasa).
- Bila masa sewa tidak ditentukan, maka boleh mengangkat makelar tersebut untuk menjualkan barang milik penjual tertentu, atau membelikan barang milik seseorang, dengan catatan berbasis prestasi (menjadikannya sebagai akad jualah). Suatu misal, untuk tiap 1000 maka, ia mendapatkan bagian sekian-sekian yang bersifat ma’lum. Pendapat terakhir ini juga diamini oleh Imam Syafii sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah.
- Jika menilik dari dua model pendapat ini, maka ketentuan bolehnya profesi makelar itu adalah bilamana diawali dengan akad ijarah atau akad ju’alah terlebih dulu antara narahubung dengan pihak yang membutuhkannya. Tanpa keberadaan ini, maka jualbelinya makelar dipandang sebagai menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, sehingga diputus haram.
Sebagai kesimpulan umum atas kasus makelar tanah, sebagaimana deskripsi di atas, maka hukumnya adalah boleh menurut ketentuan sebagaimana yang digariskan oleh tiga Madzhab yang ada, yaitu Madzhab Maliki, Madzhab Syafii dan Madzhab Hanbali. Sudah pasti, dalam hal ini, syarat kebolehan itu harus mengikuti ketentuan yang ada dari masing-masing madzhab yang membolehkannya.