MADANINEWS.ID, JAKARTA — Saat ini model kepanitiaan qurban sangat bermanfaat, mulai dari proses pencarian peserta qurban, pembelian hewan qurban, penyembelihan, dan distribusi daging qurban. Pasalnya bila dikelola secara personal, pendistribusiannya mungkin tidak merata dan tidak tepat sasaran. Namun bagaimana hukumnya bila penyembelihan hewan qurban tersebut diserahkan semuanya kepada panitia? Bukankah peserta qurban itu sendiri lebih utama untuk menyembelihnya?
Anas bin Malik mengatakan:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بكبشين أملحين أقرنين فذحبهما بيده
Artinya: “Nabi SAW menyembelih sendiri dua ekor domba yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk”.
Berdasarkan hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelihan hewan qurban seyogianya dilakukan sendiri oleh orang yang berqurban. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi, sekaligus merupakan contoh sifat tawaddu’ dan kerendahan hati Rasulullah Saw.
Al-Qasthalani dalam Irsyadus Sari mengatakan:
ففيه مشروعية ذبح الأضحية بيده وإن كان يحسن ذلك لأن الذبح عبادة والعبادة أفضلها أن يباشرها بنفسه
Artinya: “Ini menjadi dalil disyariatkan penyembelihan qurban dengan tangan sendiri, dengan syarat dia pandai menyembelihnya. Sebab qurban merupakan ibadah dan ibadah lebih utama dilakukan oleh pihak yang bersangkutan”.
Meskipun penyembelihan sendiri lebih diutamakan, hal ini bukan berarti jika diwakilkan kepada orang lain tidak diperbolehkan. Faktanya, memang tidak semua orang mampu menyembelih hewan qurban. Bagi yang tidak pandai menyembelih, mewakilkan kepada orang lain tentu lebih maslahat.
Mengacu pada praktik ini, dapat disimpulkan praktik tersebut dapat dikategorikan ke dalam wakalah atau perwakilan, di mana kita mewakilkan keperluan kita kepada pihak masjid atau lembaga tertentu yang dapat membantu kita memenuhi keperluan dalam ibadah qurban.
Praktik wakalah secara umum diperbolehkan menurut Al-Qur’an, hadits, dan kesepakatan para sahabat. Para sahabat sepakat bahwa praktik wakalahdiperbolehkan menurut Islam. Praktik wakalah ini cukup membantu manusia secara umum dalam memenuhi keperluannya.
وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ فِي الْجُمْلَةِ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إلَى ذَلِكَ ؛ فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ كُلَّ وَاحِدٍ فِعْلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، فَدَعَتْ الْحَاجَةُ إلَيْهَا
Artinya: “(Ulama) umat ini sepakat atas kemubahan wakalah secara umum karena keperluan menuntut adanya wakalah karena setiap orang tidak mungkin menangani segala keperluannya sendiri sehingga ia memerlukan perwakilan untuk hajatnya,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 1997 M/1417 H], cetakan ketiga, juz VII, halaman 197).
Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari mengatakan:
وقد اتفقوا على جواز التوكيل فها فلا يشترط الذبح بيده لكن جاءت رواية عن المالكية بعدم الأجزاء عند القدرة وعند أكثرهم يكره، لكن يستحب أن يشهدها ويكره أن يستنيب حائضا أو صبيا أو كتابيا
Artinya: “Ulama menyepakati kebolehan mewakilkan penyembelihan qurban dan tidak ada keharusan menyembelihnya sendiri. Akan tetapi, ada satu riwayat dari madzhab Malik yang menyatakan tidak sah bila ia mampu menyembelihnya, sementara menurut kebanyakan pendapat madzhab Malik hukumnya makruh. Disunahkan bagi orang yang mewakilkan penyembelihan hewan kepada orang lain untuk menyaksikan prosesnya dan dihukumi makruh bila diwakilkan kepada wanita haidh, anak kecil, dan ahli kitab”.
Rasul berkata kepada Fatimah, “Pergilah untuk melihat penyembelihan hewan qurbanmu, karena pada tetes darah pertama akan diampuni dosamu yang telah berlalu.” (H.R. Hakim)
Berdasarkan pemaparan di atas, penyembelihan hewan qurban lebih baik dilakukan sendiri, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. Ini dianjurkan selama orang yang berqurban pandai dan mampu menyembelihnya sendiri. Apabila tidak mampu, diperbolehkan mewakilkannya kepada orang lain atau panitia qurban yang diamanahkan. Panitia qurban dalam hal ini misalnya lembaga penyalur atau pengurus masjid juga dituntut bijak dalam semua prosesnya maupun pada saat pendistribusian daging qurban.