MADANINEWS.ID, Yogyakarta – Malam Satu Suro kembali diperingati masyarakat Jawa sebagai momen spiritual menyambut 1 Muharram 1447 H, yang tahun ini jatuh pada Kamis malam, 26 Juni 2025, mulai pukul 18.00 WIB. Tradisi ini menjadi simbol akulturasi Islam dan budaya Jawa yang telah berlangsung sejak era Sultan Agung Hanyokrokusumo pada abad ke-17.
Nama “Suro” diambil dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab, yang berarti tanggal 10 Muharram. Dalam pelafalan masyarakat Jawa, istilah ini menjadi “Suro” dan digunakan sebagai penanda bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam. Satu Suro juga menandai tahun baru Jawa dan dianggap sebagai malam keramat untuk berintrospeksi, menyucikan diri, dan memohon keselamatan.
Perayaan malam Satu Suro pertama kali diresmikan oleh Sultan Agung pada 8 Juli 1633 M, bertepatan dengan penggabungan kalender Saka dan Hijriah. Tujuannya adalah menyatukan umat Islam Jawa dari berbagai latar belakang dalam satu sistem budaya bersama.
Tradisi Malam Satu Suro di Yogyakarta
Di Yogyakarta, tradisi malam Satu Suro dilestarikan oleh dua institusi kebudayaan utama: Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman.
1. Jamasan Pusaka
Penyucian benda-benda pusaka seperti kereta kencana, tosan aji (senjata), dan gamelan dilakukan pada Selasa atau Jumat Kliwon di bulan Suro. Pusaka pertama yang disucikan adalah Tumbak Kanjeng Kiai Ageng Plered.
2. Mubeng Beteng dan Tapa Bisu
Ritual berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton sejauh 4 kilometer dalam diam, tanpa alas kaki, tanpa suara. Dikenal sebagai Tapa Bisu, prosesi ini dimulai dengan doa dan diikuti perenungan, sebagai bentuk penyucian diri di malam pergantian tahun.
3. Bubur Suran
Setelah ritual, masyarakat menyantap Bubur Suran—bubur gurih dengan lauk dan tujuh jenis kacang yang melambangkan tujuh hari dalam sepekan, sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan.
4. Lampah Ratri
Pura Pakualaman menggelar Lampah Ratri, yaitu ritual berjalan kaki keliling benteng kadipaten sejauh 6 kilometer, juga dilakukan dalam keheningan total sebagai bentuk laku spiritual.
Tradisi Satu Suro di Surakarta (Solo)
Di Surakarta, dua pusat kebudayaan yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran juga mengadakan tradisi serupa.
1. Jamasan Pusaka
Benda pusaka keraton disucikan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan pemeliharaan warisan budaya.
2. Kirab Malam Satu Suro dan Kebo Bule
Kirab Keraton Surakarta melibatkan Kebo Bule, kerbau putih yang dianggap keramat dan membawa tuah. Prosesi ini menjadi daya tarik utama bagi masyarakat dan wisatawan yang memadati rute kirab.
3. Kirab Pusaka Dalem
Pura Mangkunegaran menyelenggarakan kirab dari Pendapa Agung hingga kawasan Ngarsopuro dan Jalan Slamet Riyadi. Peserta kirab wajib diam, tidak boleh keluar dari barisan, dan tidak mengenakan alas kaki.
Makna di Balik Tradisi
Tradisi malam Satu Suro bukan sekadar perayaan pergantian tahun, melainkan wujud penghormatan terhadap spiritualitas, sejarah, dan budaya Jawa-Islam. Perpaduan antara nilai-nilai kejawen dan ajaran Islam ini memperkuat identitas dan refleksi diri masyarakat di awal tahun baru Hijriyah.
Melalui pelestarian prosesi seperti Mubeng Beteng, Tapa Bisu, Kirab Pusaka, dan Jamasan, masyarakat diajak untuk menjaga kesinambungan tradisi sekaligus memperdalam sisi spiritualnya.