MADANINEWS.ID, Jakarta – Saat ini kita sudah memasuki Bulan Syaban 1444 H. Artinya, kurang lebih satu bulan lagi Ramadhan 2024an datang menyapa kita. Bahagia tentunya jika bisa bertemu kembali dengan bulan mulia ini. Namun apa masih ada hutang puasa yang belum dibayar? Bagi yang masih punya utang puasa wajib membayarnya dengan cara mengganti puasa.
Membayar utang puasa wajib dilakukan sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan. Puasa ini sering disebut juga dengan puasa qadha. Puasa ini dapat dilakukan setelah bulan puasa. Waktu membayar utang puasa pun juga memiliki ketentuan tersendiri.
Banyak orang yang menyepelekan waktu membayar utang puasa. Bahkan, utang puasa tidak terbayarkan hingga bulan Ramadan selanjutnya. Meski waktu membayar utang puasa lebih luas, beberapa pendapat ulama memiliki pandangan tersendiri. Maka dari itu penting untuk mengetahui waktu membayar utang puasa agar kewajiban tidak terabaikan. Berikut ulasan singkat tentang puasa qadha.
Dasar Hukum Puasa Qadha
Puasa qadha wajib dilaksanakan sebanyak hari puasa yang telah ditinggalkan saat Ramadan. Ketentuan membayar utang puasa Ramadan dapat dilihat jelas dalam firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah ayat 184 yang artinya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 184)
Waktu Membayar Utang Puasa
Para ulama fiqih sepakat bahwa qadha’ tersebut paling lambat harus dikerjakan pada bulan Sya’ban sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ’anha, “Dahulu saya memiliki hutang shaum Ramadhan, namun saya tidak bisa membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban, karena kesibukan saya mengurus Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari kesungguhan Aisyah RA untuk melunasi hutang puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban ini bisa disimpulkan, bahwasanya tidak boleh menunda qadha’ puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya.
Konsekuensi Menunda Bayar Hutang Puasa
Jika seorang menunda pelunasan hutang sampai datang Ramadhan berikutnya, maka hal itu tidak terlepas dari dua kondisi; menunda karena ada dan tanpa adanya udzur syar’i. Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.
Pertama (udzur syar’i), jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak mampu berpuasa, juga tidak ada kemampuan untuk mengqadha karena sakitnya itu, maka fuqahasepakat bahwa orang tersebut cukup membayar fidyah (tebusan) sejumlah hari-hari yang terutang. Besaran fidyah-nya 7,5 ons beras (digenapi 1 kg, lebih bagus) diberikan kepada orang-orang miskin sekitar. Boleh juga dibayarkan dalam bentuk uang senilai harga beras tersebut. Hal ini disandarkan pada firman Allah: “… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” (QS al-Baqarah: 184)
Kedua (tanpa syar’i), jika seseorang muslim tidak berpuasa karena keteledorannya, sehingga sampai menumpuk beberapa hari, atau bahkan beberapa bulan, maka para fuqaha berbeda pendapat.
Fuqaha Hanafiyah menyatakan bahwa dia wajib mengqadha semua utang puasanya sampai lunas tergantikan seluruhnya, dan tidak perlu membayar denda atau fidyah apapun, karena memang itulah ketentuan bagi orang yang tidak berpuasa, sebagaimana firman Allah: “…, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…” (QS al-Baqarah: 185)
Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa di samping yang bersangkutan wajib mengqadha di hari yang lain sejumlah utang puasanya itu, dia juga wajib membayar fidyah sejumlah utang puasa tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dan hukuman terhadap keteledorannya, sebagaimana umumnya orang yang tidak dapat mengqadha utang puasanya sampai datang Ramadan berikutnya, maka terhadapnya dikenai fidyah di samping kewajiban mengqadha.
Selain itu, jika lupa jumlah berapa hari puasa yang tertinggal. Maka dalam hal ibadah yang bersangkutang diperintahkan mengambil yang lebih meyakinkan. Misalnya, orang yang lupa berapa jumlah hari yang menjadi tanggungan dia berpuasa, apakah 12 hari ataukah 10 hari. Maka yang harus dia pilih adalah yang lebih meyakinkan yaitu 12 hari. Dia memilih yang lebih berat, karena semakin menenangkan dan melepaskan beban kewajibannya.[]