MADANINEWS.ID, JAKARTA — Saya menggunakan terminologi “sedekah” sebagai idiom untuk mewakili pemberian wajib seperti zakat, dan pemberian tidak wajib seperti infak (huruf i kecil), wakaf, dan hibah. Istilah sedeqah memang lebih spesifik dan bertujuan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Adapun kata “Infak” (i besar) adalah bersifat umum, mewakili semua belanja atau pengeluaran. Bisa untuk belanja halal atau haram. Belanja yang dikeluarkan oleh orang beriman atau tidak beriman. Bisa digunakan untuk pemberian wajib dan tidak wajib, dan bisa belanja untuk tujuan ibadan dan bukan ibadah, belanja jihad dan bukan jihad, pun belanja suami terhadap istrinya dan bukan istrinya.
Dalam tulisan ini difokuskan pada sedekah yang mewakili pemberian wajib seperti zakat, dan belanja tidak wajib seperti infak, hibah, wakaf, dan bentuk-bentuk charity lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk melanjutkan pembahasan tentang cara memelihara nilai intrinsik harta. Tulisan sebelumnya telah mengurai perdagangan sebagai salah satu cara. Sedekah ini adalah cara lain untuk transfer kepemilikan dan penjagaan nilai fundamental harta.
Belanja dalam bentuk sedekah tidak dilandasi oleh motivasi bisnis sebagaimana perdagangan dalam memelihara nilai intrinsik harta. Tidak ada keuntungan dalam bentuk laba atau return yang diharapkan oleh pemberinya. Landasannya hanyalah semata keikhlasan dan mengharap ridho Allah subhanahu wata’ala. Tujuannya hanyalah untuk ibadah. Tidak ada tujuan ekonomi. Akan tetapi hasil dari sedekah dapat saja bernilai ekonomi bagi pemiliknya dan juga kepada masyarakat. Tapi benefit ini hanya konsekuensi, bukan tujuan.
Bahkan lebih dari itu, benefit yang diperoleh bisa dalam bentuk non material seperti kesehatan, kebahagiaan, ketenteraman, kedamaian, dan segala bentuk manfaat kebaikan bagi jiwa, mental, dan pisik. Kesemuanya ini adalah outcome dari sedekah itu. Bukan tujuannya. Karena tujuan itu mengandung motif, dan motif itu melekat pada tujuan narsis. Sementara tujuan dan motif dalam konsekuensi yang berbentuk outcome terletak pada pemberi outcome itu. Wujud outcome inilah bentuk pemeliharaan nilai harta baik yang disedekahkan maupun pokoknya.
Kalau dalam perdagangan harta terpelihara melalui return yang diperoleh, sementara dalam sedekah harta terpelihara melalui outcome yang dihasilkan. Return dan outcome berbeda. Return bentuknya adalah materi dan cenderung benefitnya kepada individu, akan tetapi outcome wujudnya bisa berbentuk materi dan juga non materi, dan manfaatnya kepada individu dan masyarakat.
Satu lagi, return nilainya selalu jauh lebih kecil dibanding outcome. Bekali-kali lipat, bahkan tak terhingga. Memang datangnya return itu lebih pasti, dapat diprediksi waktu dan jumlahnya, sementara outcome tidak seperti itu. Akan tetapi outcome selalu datang tepat waktu saat-saat dibutuhkan. Return dapat meningkatkan kekayaan sementara outcome meningkatkan kesejahteraan.
Meskipun antara perdagangan dan sedekah memiliki cara kerja yang berbeda dalam pemeliharaan nilai tukar harta, tetapi keduanya tidak boleh dipertentangkan. Lawan dari keduanya adalah riba.
Firman-Nya,
ٱلَّذِینَ یَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا یَقُومُونَ إِلَّا كَمَا یَقُومُ ٱلَّذِی یَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّیۡطَـٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَ ٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡبَیۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰا۟ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ فَمَن جَاۤءَهُۥ مَوۡعِظَةࣱ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥۤ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِیهَا خَـٰلِدُونَ یَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَیُرۡبِی ٱلصَّدَقَـٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا یُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِیمٍ
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275 – 276)
Keduanya adalah dua sumber rezeki yang ditekankan oleh Islam. Keduanya saling melengkapi. Rezeki melalui perdagangan bisa disebut sebagai rezeki preditable yaitu rezeki yang dapat diprediksi jumlah dan waktunya, sementara rezeki melalui sedekah disebut rezeki unpredictable yaitu rezeki yang tidak bisa diprediksi jumlah dan waktunya. Setiap muslim harus mengadopsi keduanya untuk pemeliharaan nilai instrinsik hartanya.
Hubungan antara outcome atau rizki dengan sedekah tidaklah mudah dirumuskan secara matematis sebagaimana hubungan antara return dengan perdagangan. Oleh karenanya, basis dari model matematis sedekah adalah keyakinan. Keyakinan bahwa tidak ada sesuatupun yang dibelanjakan dalam bentuk sedekah kecuali akan dibalas oleh Allah subhanahu wata’ala . Keyakinan inilah yang bertransformasi dalam bentuk taqwa yang bisa dikorelasikan dengan rezeki sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surah al qur’an.
وَمَن یَتَّقِ ٱللَّهَ یَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجࣰا وَیَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُۚ
Artinya: “Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3 )
Kata rezeki dalam ayat ini adalah outcome dan bersifat dependen, sementara taqwa dalam ayat ini adalah penyebab dan bersifat independen. Allah mengawali dengan kata “Barang siapa” yang bermakna kontinjensi yaitu bahwa hanya yang memenuhi syarat yang dapat memperoleh konsekuensi dari taqwa. Dengan sendirinya ayat ini menjelaskan hubungan kausalitas, hubungan sebab-akibat, bukan hubungan pengaruh.
Indikator refleksi dari rezeki atau outcome yang tidak disangka-sangka dalam bentuk materil dan non materil telah disebut di atas. Bagaimana dengan “taqwa” sebagai variabel independen? Taqwa adalah konstruk yang tidak bisa diukur berapa besar dan berapa kualitasnya. Dibutuhkan indikator pengukur sebagai formatsi atau refleksinya. Indikator formatsinya tidak lain adalah seluruh komponen rukun Islam. Bahwa hanya yang melaksanakan rukun Islam yang dapat memperoleh derajat taqwa. Naik turun jumlah dan kualitas taqwa hanya dapat dilihat dari kualitas pelaksanaan rukun Islam. Sementara dari sisi indikator rekfleksinya dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini.
وَسَارِعُوۤا۟ إِلَىٰ مَغۡفِرَةࣲ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَـٰوَ ٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِینَ ٱلَّذِینَ یُنفِقُونَ فِی ٱلسَّرَّاۤءِ وَٱلضَّرَّاۤءِ وَٱلۡكَـٰظِمِینَ ٱلۡغَیۡظَ وَٱلۡعَافِینَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ یُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِینَ
Artinya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-Imran: 133-134)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan indikator refleksi taqwa diantaranya adalah infak (sedekah). Inilah salah satu indikator pengukur taqwa yang bisa dikorelasikan dengan outcome berupa rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan juga Allah menyebut “baik di waktu lapang maupun sempit” yang bermakna tidak ada ruang untuk tidak bersedekah, dan oleh karenanya kata ini juga bermakna ukuran besaran infak adalah ukuran rasio (prosentase) dan bukan angka absolut.
Kedua surah dan beberapa ayat inilah – QS. Ath-Thalaq: 2-3 dan QS. Ali-Imran: 133-134 – yang menuntun kita untuk merumuskan model matematika keyakinan hubungan kausalitas antara sedekah dan outcomenya. Hubungan ini menjelaskan kausalitas positif bahwa semakin besar sedekah (rasio) maka semakin besar pula outcome yang dihasilkan. Tentu yang dimaksud demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain seberapa besar harta kita terjaga nilai intrinsiknya (berberkah) tergantung pada seberapa besar (rasio) sedekah kita.
Oleh: Ust. Prof. Abdul Hamid Habbe
(Dosen FEB Unhas, Ketua DPK WI, Ketua AMKI Sulsel)