MADANINEWS.ID, JAKARTA — Di Awal tahun 2021, Pemerintah telah mengumumkan akan melakukan vaksinasi COVID-19 kepada 67% dari 160 juta penduduk yang berusia 18-59 tahun, atau sekitar 107.206.544 orang.
Setelah pengumuman ini beredar, banyak yang menunggu-nunggu kemunculan vaksin COVID-19 dengan harapan bisa langsung menjalani hidup normal sama seperti sebelum pandemi. Menganggap vaksinasi akan membuatnya kebal terhadap COVID-19.
Tapi faktanya tidak seperti yang dibayangkan, vaksin tidak serta merta menyelesaikan penularan wabah COVID-19.
“Masyarakat Indonesia masih harus melakukan 3M, bahkan setelah vaksinasi COVID-19 dimulai,” kata ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Utomo, Senin (15/12).
Setelah program vaksinasi COVID-19 ini berjalan, masyarakat tetap harus memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M) dalam beberapa waktu ke depan. Pemerintah juga harus lebih gencar melakukan 3T, yakni testing, tracing, dan treatment.
Ahmad menjelaskan bahwa yang menjadi dasar dalam penanggulangan pandemi penyakit adalah 3 M dan 3 T.
“Ibaratnya ban bocor, kita tentu harus mengendalikan bocor besar dulu. Begitu juga dalam penularan COVID-19, 3M dan 3T itu berperan untuk menutup lubang besar. Sisa lubang kecilnya baru ditutup dengan vaksin,” jelas Ahmad.
Syarat Agar Vaksin Bisa Kendalikan Pandemi
Ahli epidemiologi Universitas Padjadjaran, dr. Panji Hadisoemarto mengatakan, vaksin dapat mengendalikan masalah pandemi jika setidaknya memenuhi dua hal.
Pertama, vaksin tersebut efektif membuat seseorang yang telah divaksin kebal terhadap penularan. Kedua, vaksinasi harus diberikan pada cukup banyak anggota populasi.
“Cakupan vaksinasi (dalam rencana pemerintah) tampaknya tidak akan mencapai keperluan untuk membentuk herd immunity, setidaknya dalam 1 tahun ke depan,” kata Panji dalam diskusi online bersama Fakultas Kedokteran Unpad, Sabtu (12/120).
Selain itu, semua kandidat-kandidat vaksin COVID-19 yang telah memasuki tahap akhir uji klinis fase 3 ini tidak ada yang didesain untuk membuktikan keefektifan dalam mencegah penularan. Vaksin ini dimaksudkan untuk mengurangi beban gejala berat dan kematian akibat COVID-19.
Jadi masih besar kemungkinan vaksin COVID-19 tidak mencegah seseorang tertular COVID-19.
Dalam uji klinis fase 3, kandidat-kandidat vaksin COVID-19 ini tidak didesain untuk mencegah penularan tapi untuk mencegah seseorang menimbulkan gejala.
Jadi setelah menyuntikkan vaksin pada ribuan relawan, peneliti akan menunggu dan mengamati sampai ada relawan yang mengalami gejala sakit COVID-19. Relawan yang bergejala inilah yang dites untuk melihat apakah ia benar terinfeksi COVID-19 atau tidak.
Setelah ada sebanyak 150 orang relawan vaksinasi yang terbukti positif COVID-19 dengan gejala, peneliti akan melihat beberapa dari mereka yang menerima vaksin asli dan berapa yang menerima plasebo. Perbedaan dari angka ini yang akan dilaporkan sebagai keefektifan vaksin mencegah seseorang sakit COVID-19.
Jadi vaksin COVID-19 ini tidak bisa dibilang mampu mencegah penularan COVID-19. Karena tidak menghitung berapa banyak yang terinfeksi COVID-19 tanpa gejala (OTG).
sementara itu, Uji klinis yang didesain untuk membuktikan suatu vaksin mampu mencegah penularan itu harus dilakukan pada relawan yang lebih besar dan waktu yang relatif lebih lama.
Selain itu, setelah disuntikkan vaksin, semua relawan uji coba harus melakukan swab PCR setiap dua minggu sekali selama satu tahun. Lalu peneliti akan menghitung semua kasus positif, baik yang bergejala maupun tanpa gejala.
“Pembuktian ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang tidak sedikit,” kata Ahmad.
“Karena keterbatasan ini akhirnya kita tidak punya bukti apakah vaksin COVID-19 yang ada ini mampu mencegah penularan,” jelasnya.
Dampak dari vaksinasi COVID-19 pada populasi di Indonesia adalah untuk mengurangi angka kematian dan pasien COVID-19 bergejala berat. Walaupun justru target utama yang divaksinasi bukan kelompok yang termasuk rentan terhadap COVID-19 gejala berat. Mereka yang masuk dalam kategori kelompok prioritas dalam program vaksinasi diantaranya, tenaga kesehatan, aparat hukum, tokoh agama, dan aparatur pemerintah pusat sampai daerah.
“Kesimpulannya, efek perlindungan langsung masih terlalu kecil sehingga program vaksinasi COVID-19 di Indonesia belum bisa membawa kita kembali ke kehidupan normal seperti sebelum pandemi,” kata Panji.