MADANINEWS.ID, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama bekerja sama dengan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI (BPOM RI) mengadakan webinar edukasi tentang sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mastuki HS, memastikan bahwa sinergi edukasi dan sosialisasi Jaminan Produk Halal (JPH) penting dilakukan mengingat penyelenggaraan JPH harus melibatkan banyak pihak dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.m Mastuki mengatakan, selama ini BPJPH banyak berdiskusi intensif dengan banyak pihak seperti dengan kementerian/lembaga, instansi, perguruan tinggi, ormas keagamaan dan sebagainya, termasuk juga dalam rangka penyusunan perundang-undangan. Dari berbagai pembahasan intensif itu, disimpulkan bahwa kepentingan Jaminan Produk Halal tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan bayak pihak atau stakeholder terkait.
“Ada 19 kementerian/lembaga dan instansi yang secara langsung dan tak langsung terkait dengan proses sertifikasi halal ini, dan secara general terkait Jaminan Produk Halal.” kata Mastuki seperti dilansir dari website resmi BPJPH, Rabu (9/12).
Mastuki memastikan bahwa sertifikasi halal penting dilaksanakan oleh pelaku UMK. Selain sebagai bentuk pelaksanaan amanat perundang-undangan dalam mewujudkan perlindungan kehalalan produk, sertifikasi halal juga merupakan salah satu upaya dalam pengembangan usaha. Sehingga, edukasi tentang sertifikasi halal bagi UMK menjadi penting dilakukan, mengingat sertifikasi halal akan lebih mudah dilakukan ketika ada awareness atau kesadaran halal dan pemahaman yang baik tentang sertifikasi halal pada diri para pelaku UMK. Dalam kerangka yang lebih luas lagi sebagai ekosistem halal, lanjutnya, maka pelaksanaan proses sertifikasi halal harus diletakkan pada jembatan penghubung antara pra sertifikasi dan pasca sertifikasi, agar pelaksanaan sertifikasi berjalan dengan baik.
“Sehingga pelaku usaha harus memahami konsepnya halal dari hulu hingga hilir. Karena metode pendekatan dalam madzhab halal di Indonesia adalah traceability atau telusur dari hulu hingga hilir. Ada pra kondisi yang melibatkan banyak pihak salah satunya terkait halal value chain.” terang Mastuki.
Metode Pendekatan Halal di Indonesia
Traceability itu, lanjut Mastuki, bisa dimulai from farm to fork, dari penyediaan bahan halal di mana kehalalan bahan bisa ditelusur dari awal hingga produk jadi. Dicontohkannya, bahan hasil pertanian atau dari hasil laut, seperti sayuran atau ikan itu adalah halal by nature. Tetapi ketika bahan baku berasal dari peternakan misalnya daging, maka harus dipastikan penyembelihannya memenuhi kaidah syariah dan berasal dari ternak yang halal, sehingga daging tersebut halal.
Bahan dan proses produksi menjadi titik penting apakah suatu produk memenuhi ketentuan kehalalan ataukah tidak. Karenanya, lanjut Mastuki, penyediaan bahan halal baik bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong, ketersediaannya sangat menentukan pemercepatan proses sertifikasi halal. Sehingga dalam hal itu, pemerintah berupaya hadir memberikan ‘intervensi’ untuk memudahkan penyediaan bahan baku halal tersebut.
“Dalam penyiapan Peraturan Pemerintah, termasuk juga masukan dari KNEKS, agar penyediaan bahan baku atau raw material halal itu menjadi concern dalam sertifikasi halal untuk didahulukan penahapannya. Termasuk riset-riset terkait halal berbagai perguruan tinggi, halal center, dan sebagainya itu juga harus berjalan untuk bisa mempercepat proses sertifikasi halal.” imbuh Mastuki.
Kepada pelaku UMK, Mastuki menekankan prinsip-prinsip dalam sertifikasi halal yang harus dipenuhi. Di antaranya, memastikan produk yang dihasilkan sesuai ketentuan halal dan menjamin kehalalan produk di seluruh rangkaian proses produk halal (PPH), memastikan tidak terjadi kontaminasi bahan haram, baik fasilitas/peralatan, pekerja, maupun lingkungan, serta menjaga kesinambungan proses produksi halal.
Mastuki juga memastikan mudahnya prinsip-prinsip dalam proses produk halal. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH Pasal 21. Lokasi, tempat dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat dan alat penyelbelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk tidak halal. Lokasi, tempat dan alat PPH wajib dijaga kebersihan dan higienitasnya, bebas dari najis, dan bebas dari bahan tidak halal atau haram. Prinsip-prinsip dasar tersebut, tentu bisa dilakukan oleh pelaku usaha jika ini tersosialisasikan dengan baik dan dengan kesadaran dilaksanakan oleh pelaku usaha dengan baik.
“Sebab, Undang-undang mengatur kewajiban pelaku dalam sertifikasi halal. Pasal 24 Undang-undang JPH mengatur bahwa pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikasi halal wajib memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur. Juga, memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara halal dan tidak halal. Kemudian, pelaku usaha harus memiliki penyelia halal yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan, dan melaporkan perubahan komposisi bahan dan proses produk halal kepada BPJPH.” jelas Mastuki.
Setelah memperoleh sertifikat, Mastuki juga menegaskan bahwa pelaku usaha tidak boleh berhenti menjamin kehalalan produknya. Kesinambungan proses produk halal harus terus dijalankan. “Setelah ini dipahami maka akan lebih mudah pelaksanaan sertifikasi halalnya.” imbuh Mastuki. Untuk diketahui, Webinar yang digelar secara virtual itu juga menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya Direktur Bisnis dan Kewirausahaan Syariah KNEKS Putu Rahwidhiyasa, Wakil Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati, dan praktisi UMKM Industri Halal Nur Ahmad Habibi. Di sesi sebelumnya, hadir pula Direktur Pengawasan Pangan BPOM RI Sondang Widya Estikasari, Wakil Kepala Bidang Inkubator Bisnis dan Komitmen Industri LKST IPB University Rokhani Hasbullah, dan CEO PT Zahir International Muhamad Ismail.[]